Cerpen Nurul Fitri Lubis
Sulit membayangkannya sebagai perempuan jahat. Perempuan antagonis yang selalu berakhir dengan kesialan dan kehancuran, seperti yang selalu terjadi di film, sinetron maupun telenovela. Wajahnya yang manis kekanakan tak dapat memerankan kesan neneh sihir jahat yang ada dalam fikiranku. Suaranya yang lembut mendayu juga menghalau kesan judes yang kuingin ada padanya. Tutur bahasanya nan lembut menggantikan kesan kasar yang ingin kulihat. Jika ingin jujur, dia adalah wanita sempurna untuk Barli. Sahabat sejatiku yang diam – diam kucintai.
Barli adalah sahabatku selama sepuluh tahun terakhir. Kami kuliah di kampus yang sama, dan memulai persahabatan disana. Saat lulus, kami berpisah untuk bekerja di perusahaan yang berbeda. Namun, tampaknya nasib menyatukan kami kembali. Saat ada perekrutan besar dari sebuah perusahaan konsultan akuntan publik ternama, kami berdua sama – sama diterima untuk posisi yang sama. Persahabatan itu berlanjut kembali. Barli selalu ada untukku, dan aku selalu ada untuk mendengarkan keluh kesah Barli. Kami menjadi sahabat sejati, yang selalu ada untuk yang lain. Tanpa kusadari, benih – benih cinta itu muncul di hatiku. Namun, aku tak kuasa mengungkapkannya. Aku takut kehilangan Barli.
“Bagaimana menurutmu?” tanya Barli di suatu sore. Usai jam kantor, dia menarikku ke meja kerjanya. Beberapa file, yang biasanya selalu berserakan saat Barli bekerja telah tersusun dengan rapi di masing – masing file holder. Alat – alat tulis telah menempati tempatnya masing – masing. Meja kerja telah tersusun rapi, menandakan sang pemilik telah bersiap – siap untuk pulang. Namun, laptopnya masih terbuka, ada facebook terpampang di sana. Menampilkan profil seorang gadis cantik yang dapat menawan hati setiap pria.
“Cantik, dan kelihatannya baik,” jawabku tanpa firasat apapun. Bukan hal yang luar biasa jika Barli menunjukkan profil teman – teman wanitanya dan meminta penilaianku.
“Good” katanya dibarengi dengan senyum kemenangan. “Aku baru saja mendapatkannya sebagai kekasihku. Dan kau, sebagai sahabat sejatiku adalah orang yang pertama kalinya akan kuperkenalkan kepadanya.
Jadi, disinilah aku. Duduk manis, dengan sopan santun yang dilakukan dengan penuh keterpaksaan, senyum manis yang dibuat-buat, akhirnya aku bertemu dengan Suci, sang rival. Di suatu weekend, Barli berhasil memaksaku untuk bertemu dengan kekasih barunya. Setelah beberapa kali menolak dengan mengarang berbagai alasan dari yang logis seperti banyak pekerjaan, hujan, tidak enak badan, terlanjur berjanji bertemu dengan orang lain hingga alasan tak masuk akal, seperti tak bisa kemana-mana karena si Kino, ikan mas kokiku lagi sakit atau kena penyakit batuk seratus hari. Hari ini aku tak menemukan satu alasan pun yang bisa kuberikan.
Jika pertemuan dengan Suci sudah cukup membuatku bisa mendapatkan serangan sakit perut mendadak, tingkah Barli di kemudian hari tak kalah untuk membuat migrain di kepalaku bisa muncul setiap saat. Tiada hari tanpa cerita tentang Suci. Tentang sms – sms mengingatkan makan yang tak pernah lupa dikirimkan Suci untuknya. Hah. Kalau hanya sms, aku juga bisa. Jangankan sebuah sms mesra, seribu sms pun bisa kukirimkan. Tentang kata – kata mutiara yang membuat jantung Barli serasa berhenti berdetak. Alah, paling – paling juga nyontek dari Khalil Gibran. Tentang kata – kata cinta yang selalu diucapkannya setiap malam. Jangankan tiap malam, tiap saat pun aku rela menyatakan cinta untuk Barli. Tentang kegemaran Suci yang suka merajut. Ngga keren amat sih.
Seakan belum cukup menggerecokiku tentang betapa sempurnanya Suci, Barli juga selalu melibatkan Suci di kegiatan-kegiatan yang biasanya selalu aku dan Barli lakukan bersama. Ketika membawa Suci ke komunitas fotografi, aku memberikan kritik pedas pada foto – foto hasil jepretan Suci. Bukannya sakit hati, dengan kritikan dan hinaanku, Suci malah memuji hasil – hasil jepretanku. Dan kalau aku tak berkeberatan, dia bahkan meminta kursus pribadi dariku. Bah, memangnya aku mau? Pada saat berkaraoke bersama teman – teman kantor, begitu mengetahui suara Suci yang fals, aku malah memintanya menyanyikan lagu "If I aint got you"-nya si Alicia Keys. Jelas saja, suaranya ke mana-mana. Musik ada dimana, suara juga ada dimana. Kuharap dia malu, pikirku. Bukan itu yang kudapatkan. Habis menyanyi, Suci mendatangiku, berterima kasih kepadaku, karena itulah pertama kalinya dia memiliki keberanian untuk mengeluarkan suaranya yang fals di depan orang - orang. “Terima kasih Karin, karena telah membuatku pede,” katanya tulus. Gagal lagi rencanaku.
Aku sangat berhati-hati menunjukkan kecemburuanku pada Suci. Berpura-pura bahagia untuk kebahagiaan mereka, padahal hatiku berharap mereka putus. Di depan Barli, aku selalu memuji Suci. Jika Barli tak ada di dekatku, maka aku akan melancarkan aksi mengkritik Suci, satu-satunya usaha yang sejauh ini bisa kulakukan untuk menyiksanya. Membuatnya tersudut dan merasa dia tak cukup baik untuk Barli. Kejam. Jahat. Itulah sebutan yang cocok untukku. Namun, yang kudapatkan selalu berbalik dengan apa yang kuharapkan. Mereka semakin dekat satu sama lain. Suci, yang kuharap membenciku semakin hormat dan mengagumiku untuk hal-hal yang menurutku tak perlu dikagumi. Semakin dia menyanjungku, semakin aku membencinya.
Apa sih yang dilihat Barli padanya? Cantik? Memang. Tapi, aku juga tak kalah cantik. Baik? Kurang baik apa aku selama ini padanya? Karir? Aku seorang auditor di konsultan publik ternama. Masa kalah dengan seorang sekretaris? Pintar? Ngga juga. Kemaren saat jalan-jalan ke sea world, aku sempat menjelaskan hal – hal sepele kepadanya, seperti ikan paus adalah mamalia dan tidak bernafas melalui insang seperti ikan – ikan lainnya.
“Melamun aja. Istirahat masih lama,” sapa Barli sambil menepuk pundakku. “Mikirin apa sih Rin?” tanyanya.
“Ngga ada sih,” jawabku pura-pura. Mana mungkin aku mengaku dengan menjawab, “Sedang mikir gimana caranya supaya kamu putus dengan perempuan itu.” Alih – alih aku malah menjawab, “Ini. aku sedang mikir kenapa neraca ini nggak balance. Kemana perginya uang lima ratus perak itu.”
“Nih. Makan ini dulu. Ntar pasti nemu kok. Tenang aja,” Barli menyodorkan sekotak donat yang ditaburi gula dan coklat berwarna warni.
“Enak banget nih Bar. Kamu beli dimana?” tanyaku sambil menjilati gula – gula yang ada di pinggiran donat.
“Dibuatin Suci. Itu buat kamu, katanya,” aku hampir tercekik. Jadi, ini buatan perempuan itu. Akhirnya ada satu kelebihannya yang tak kumiliki. Aku tak bisa memasak.
Kebencianku semakin memuncak. Hari ini hari Minggu, bertepatan dengan hari ulang tahunku. Hari yang tak pernah dilupakan oleh Barli. Namun, hari ini dia lupa. Tidak ingat sama sekali, bahkan sekedar untuk mengirimkan sms Selamat Ulang tahun pun tidak. Pasti ini gara – gara perempuan sialan itu. Dia benar – benar telah mengambil Barli dariku. Aku benci dia. Benar – benar benci. Kuharap dia mati saja.
Bel pintu rumahku berbunyi nyaring. Siapa pula yang berkunjung di Minggu malam seperti ini, disaat aku bersiap – siap hendak tidur. Kubuka pintu dengan malas. Barli berdiri disana. Wajahnya kusut. Tidak ada Suci. Kuharap mereka baru bertengkar.
“Selamat Ulang Tahun Rin. Maaf aku baru mengucapkannya sekarang,” kata Barli lemah sambil menyerahkan sebuah bingkisan untukku. Sebuah tas rajut yang cantik sekali.
“Barli. Kamu ngga perlu repot – repot dengan hadiah ini. Anyway, bagus sekali. Terima kasih ya,” jawabku riang.
“Suci yang buat,” jawabnya datar.
Oh my God. Kapan aku bisa lepas dari perempuan itu. Aku kembali terhenyak mendengar nama Suci. “Oh ya, Sucinya mana?” tanyaku pura – pura. Tiba – tiba Barli memelukku.
“Barli.. Kamu kenapa?” tanyaku kaget.
“Suci, Rin,” jawabnya serak. “Suci kecelakaan. Sekarang dia sekarat di rumah sakit.”
Jantungku serasa berhenti berdetak. Suci kecelakaan? Sekarat? Berarti sekarang dia hampir mati? Bukankan ini yang tadi kuinginkan. Mengharap dia mati.
“Kapan kejadiannya? Dan bagaimana bisa terjadi?” tanyaku. Masih dalam keadaan shock. Khabar ini terlalu cepat bagiku.
“Tadi pagi. Dia sedang mengambil kue ulang tahun untukmu yang sudah dipesannya. Harusnya aku bersamanya Rin,” sekarang Barli menangis di pelukanku. Senangkah aku? Rivalku saat ini tengah berjuang melawan maut dikarenakan ingin berbuat baik untukku.
Sudah pukul dua pagi. Aku menemani Barli menunggui Suci di rumah sakit. Kondisi Suci masih belum menunjukkan perkembangan. Masih belum sadar. Berbagai selang terpasang di tubuhnya. Seperti namanya, wajahnya terlihat damai dan suci. Dia lebih terlihat seperti orang tidur. Tak ada tanda – tanda kesakitan di wajahnya. Aku menyentuh tangannya. Dingin, seperti tak ada darah kehidupan di dalamnya. Puaskah aku sekarang? Tidak. Melihat wajah sedih Barli membuat hatiku hancur. Ingin rasanya aku berganti tempat dengan Suci.
Orang tua Suci sedang berkeliling mencari darah. PMI kehabisan darah. Sementara Suci membutuhkan banyak darah, untuk operasi yang harus dilakukan sesegera mungkin. Pintu ICU terbuka. Kedua orang tua Suci baru kembali. Dari wajah mereka, aku bisa menebak mereka tak berhasil mendapatkan darah. “Tidak ada darah AB. Kami sudah mencari kemana – mana,” kata ayah Suci lemah. Sementara ibunya menangis tak berdaya. Operasi tak bisa dilakukan tanpa darah.
“Ambil darahku. Darahku AB,” kataku tiba – tiba. “Ambil sebanyak yang bisa diambil,” kataku pasti.
Ibu Suci spontan memelukku. “ Tidak tahu bagaimana membalas jasa kamu sayang. Semoga Tuhan membalasnya suatu saat,” katanya sambil menangis sesegukan. Sang Ayah mengucap syukur berulang kali.
“Karin. Kamu benar – benar malaikat penyelamat. Aku tak kan pernah melupakan ini. Sampai kapanpun, kamu sahabat sejatiku,” bisik Barli sambil menggenggam tanganku. Seandainya kalian tahu. Aku ini manusia jahat. Manusia yang menginginkan kematian seseorang untuk kepentingannya sendiri. Yang tak pernah menghargai kebaikan Suci. Yang selalu mengharap keburukan terjadi pada Suci. Aku yang pantas mati, bukan Suci. Kuharap darah yang kuberikan bisa mengurangi dosa – dosaku. Aku membalas genggaman Barli sambil menangis sedih.
Setahun kemudian
“Saya terima nikahnya Suci Fadila binti Mahmud dengan maskawin seperangkat alat sholat tunai.”
Sahabat sejatiku tengah melakukan akad nikah. Semua mata tertuju padanya dan seorang wanita cantik yang menggunakan kursi roda. Kecelakaan itu tak merenggut nyawa Suci. Darah yang kuberikan bisa dipergunakan untuk operasinya. Namun, dia harus merelakan diri untuk menghabiskan hidupnya di kursi roda. Kecacatannya tak melunturkan cinta Barli. Aku sendiri berusaha memperbaiki diri. Meski awalnya pedih, aku merelakan sahabatku pergi ke pelukan wanita lain. Melihatnya bahagia jauh lebih membahagiakan daripada memilikinya. Selamat berbahagia sahabatku. Sampai kapanpun, aku akan tetap menjadi sahabat sejatimu.
0 komentar:
Posting Komentar